Jember (beritajatim.com) - Bambang Istianto, penulis
buku 'Demokratisasi Birokrasi', menyatakan: nilai-nilai demokrasi pada
birokrasi melekat pada prinsip 'good governance, reinventing government,
dan new public services'.
Salah satu syarat agar prinsip itu terlaksana adalah profesionalitas.
Tapi pegawai negeri sipil dihadang masalah kompetensi dan kemampuan
teknis untuk bisa profesional dalam bekerja.
Ketua Komisi
Pemilihan Umum Jember, Ketty Tri Setyorini, pernah mengeluhkan kemampuan
pegawai negeri yang ditempatkan di sekretariat KPU. "Mengetik pakai
komputer dan bikin surat saja ada yang tidak bisa," katanya, prihatin.
Kepala
Badan Kepegawaian Jember Miati Alvin menyadari lemahnya kemampuan
jajaran birokrasi. "Kadang pemerintah kecamatan mengeluh dikasih tenaga
ini (tertentu), karena mengetik dengan komputer saja tidak bisa,"
katanya.
Persoalan efisiensi dan efektivitas kerja juga
menghadang. Penumpukan pegawai negeri di sebuah instansi kadang tak
diikuti dengan porsi kerja yang memadai. Jumlah pegawai kadang lebih
besar daripada jumlah pekerjaan yang bisa digarap.
Miati
mengatakan, BKD Jember sudah berupaya untuk memeratakan jumlah
persebaran pegawai. "Kalau bisa bekerja dengan lima orang, kenapa harus
dengan tujuh orang," katanya bertamsil.
Hambatan justru kadang
datang dari pimpinan satuan kerja bersangkutan. Menurut Miati, mereka
kadang mengeluh adanya pengurangan jumlah pegawai di instansi mereka.
"Mereka mengeluh kekurangan tenaga," katanya.
Tapi, bagi MZA
Djalal, kondisi birokrasi tak harus membuat pesimistis. "Pada
hakikatnya, memenej pemerintahan itu trial. Kita belum menemukan baku
memenej pemerintah, memenej negara, karena kita negara berkembang. kita
masih mencoba terus, karena ini bagian ikhtiar untuk kita lebih baik.
Ini tidak salah dan tak boleh disalahkan," katanya.
Dalam setiap
rapat, Djalal menekankan kepada jajaran birokrasi untuk meningkatkan
kapasitas, di samping memberikan sentuhan spiritual. "Ayo ditata
hatinya. Kalau hati ditata, dalam pengertian merenung, sebagai pejabat
betul-betul nawaitu (berniat) mengabdi," katanya.
Bambang juga
percaya demokratisasi dan pembenahan birokrasi Indonesia bisa
dilaksanakan. Kuncinya: pendidikan perguruan tinggi yang menjadi sumber
pasokan tenaga birokrasi. "Pendidikan kita masih belum berubah, lebih
brain oriented (berorientasi rasional), dan masih belum menggugah hati
nurani," katanya.
Nilai-nilai pendidikan, terutama perguruan
tinggi, harus membuka nilai-nilai kemanusiaan, membuka hati nurani, dan
menggerakkan akal. Ini akan mengubah pola pikir aparat birokrasi
Indonesia.
"Pejabat kampus pun harus berubah. Meritokrasi sistim,
pola karier itu penting. Ketika produk (perguruan tinggi) bagus, maka
otomatis biokrasi yang memakai (lulusan perguruan tinggi) akan
terselamatkan," kata Bambang.
Dalam benak Bambang, jika jajaran
birokrasi sudah berubah menjadi inovatif, profesional, responsif,
kreatif, dan dinamis, maka nilai-nilai keterbukaan, kebebasan, dan
demokrasi akan mudah diterapkan. [wir]
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar