Subscribe:

Ads 468x60px

Senin, 19 Maret 2012

Birokrasi Indonesia: Sok Tahu dan Feodal

Jember (beritajatim.com) - Sejumlah tersangka dan terpidana korupsi adalah aparat birokrasi. Orang-orang antri membuat kartu tanda penduduk di kantor kependudukan yang dipromosikan gratis oleh pemerintah, namun nyatanya tetap harus bayar jika ingin selesai cepat. Perijinan usaha harus melalui meja-meja aparatur pemerintah. Panjang, dan makan biaya besar.

Jadi pertanyannya: bisakah birokrasi di Indonesia didemokratisasikan? Sebenarnya pertanyaan ini agak aneh juga, atau mungkin: birokrasi harus didemokratisasikan adalah sebuah pernyataan yang membuat mengerutkan dahi. Mendemokratisasi birokrasi linier dengan menyerukan, bahwa selama ini birokrasi bukanlah suatu tempat yang demokratis. Demokrasi tidak tumbuh di sini.

Birokrasi, kita tahu, adalah kepanjangan tangan negara. Ia berasal dari Bahasa Prancis, yang berarti meja tulis. Lance Castle menyebut para birokrat digaji untuk menjalankan fungsi pemerintahan. Mereka tertata rapi dan sangat solid. Milovan Djilas dalam buku 'The New Class' menyebut: ini kelas baru dalam masyarakat.

"Mereka monopolistik, kokoh dalam mempertahankankan kepentingan dan mengendalikan apa yang dimiliki," demikian Djilas. Hanya birokrat yang diberi kekuasaan monopoli untuk mengelola pajak dan sumber daya negara. Mereka mengendalikannya, mendistribusikan kekayaan dalam program pembangunan yang menurut mereka 'sesuai untuk rakyat'.

'Sesuai untuk rakyat' tentu saja tak selamanya sesuai dengan apa yang dibutuhkan rakyat. Bupati Jember, Jawa Timur, Muhammad Zainal Abidin Djalal, dalam suatu kesempatan mengakui, birokrasi kadang keliru menangkap keinginan masyarakat. "Kami merasa lebih pintar dari masyarakat, sehingga kami membuat kebijakan program yang menurut kami cocok, ternyata masyarakat tak butuh itu," katanya.

Djalal jujur mengakui, birokrasi yang dipimpinnya belum sepenuhnya berpihak kepada masyarakat. Birokrat belum mampu menginformasikan program-program pembangunan kepada masyarakat.

Ketidakmampuan melihat kebutuhan masyarakat ini, dalam analisis Bambang Istianto, penulis buku 'Demokratisasi Birokrasi', menunjukkan perlunya perubahan pola pikir birokrat. "Persoalan mendasar adalah sikap feodalistis yang mengakar," katanya kepada reporter beritajatim.com, saat berada di Jember akhir pekan ini.

Dalam bukunya, Bambang menulis, bahwa dalam budaya feodalisme ini, 'penguasa ditempatkan selalu harus dihornati, dilayani untuk menjaga wibawa.'

Nilai-nilai kewibawaan ini, lanjut Bambang, bukan berdasarkan kompetensi dan profesionalisme, tapi berdasarkan authority yang dimiliki. 'Authority' digunakan untuk mempuk 'kekuasaan, membangun kepentingan bisnisnya atau kepentingan pribadi lain', persis seperti dikatakan Djilas.  "Kita seperti kerajaan. Konsep upeti (untuk birokrasi) masih jalan," kata Bambang.

Sikap feodalistis ini terwariskan sejak masa kerajaan hingga masa pemerintah kolonial Belanda, yang menempatkan pegawai pemerintah sebagai warga negara kelas utama. Menjadi pegawai pemerintah bukanlah pengabdian, namun kebanggaan dan simbol kelas sosial. [wir]

0 komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger