Jember (beritajatim.com) - Sejumlah tersangka dan
terpidana korupsi adalah aparat birokrasi. Orang-orang antri membuat
kartu tanda penduduk di kantor kependudukan yang dipromosikan gratis
oleh pemerintah, namun nyatanya tetap harus bayar jika ingin selesai
cepat. Perijinan usaha harus melalui meja-meja aparatur pemerintah.
Panjang, dan makan biaya besar.
Jadi pertanyannya: bisakah
birokrasi di Indonesia didemokratisasikan? Sebenarnya pertanyaan ini
agak aneh juga, atau mungkin: birokrasi harus didemokratisasikan adalah
sebuah pernyataan yang membuat mengerutkan dahi. Mendemokratisasi
birokrasi linier dengan menyerukan, bahwa selama ini birokrasi bukanlah
suatu tempat yang demokratis. Demokrasi tidak tumbuh di sini.
Birokrasi,
kita tahu, adalah kepanjangan tangan negara. Ia berasal dari Bahasa
Prancis, yang berarti meja tulis. Lance Castle menyebut para birokrat
digaji untuk menjalankan fungsi pemerintahan. Mereka tertata rapi dan
sangat solid. Milovan Djilas dalam buku 'The New Class' menyebut: ini
kelas baru dalam masyarakat.
"Mereka monopolistik, kokoh dalam
mempertahankankan kepentingan dan mengendalikan apa yang dimiliki,"
demikian Djilas. Hanya birokrat yang diberi kekuasaan monopoli untuk
mengelola pajak dan sumber daya negara. Mereka mengendalikannya,
mendistribusikan kekayaan dalam program pembangunan yang menurut mereka
'sesuai untuk rakyat'.
'Sesuai untuk rakyat' tentu saja tak
selamanya sesuai dengan apa yang dibutuhkan rakyat. Bupati Jember, Jawa
Timur, Muhammad Zainal Abidin Djalal, dalam suatu kesempatan mengakui,
birokrasi kadang keliru menangkap keinginan masyarakat. "Kami merasa
lebih pintar dari masyarakat, sehingga kami membuat kebijakan program
yang menurut kami cocok, ternyata masyarakat tak butuh itu," katanya.
Djalal
jujur mengakui, birokrasi yang dipimpinnya belum sepenuhnya berpihak
kepada masyarakat. Birokrat belum mampu menginformasikan program-program
pembangunan kepada masyarakat.
Ketidakmampuan melihat kebutuhan
masyarakat ini, dalam analisis Bambang Istianto, penulis buku
'Demokratisasi Birokrasi', menunjukkan perlunya perubahan pola pikir
birokrat. "Persoalan mendasar adalah sikap feodalistis yang mengakar,"
katanya kepada reporter beritajatim.com, saat berada di Jember akhir
pekan ini.
Dalam bukunya, Bambang menulis, bahwa dalam budaya
feodalisme ini, 'penguasa ditempatkan selalu harus dihornati, dilayani
untuk menjaga wibawa.'
Nilai-nilai kewibawaan ini, lanjut
Bambang, bukan berdasarkan kompetensi dan profesionalisme, tapi
berdasarkan authority yang dimiliki. 'Authority' digunakan untuk mempuk
'kekuasaan, membangun kepentingan bisnisnya atau kepentingan pribadi
lain', persis seperti dikatakan Djilas. "Kita seperti kerajaan. Konsep
upeti (untuk birokrasi) masih jalan," kata Bambang.
Sikap
feodalistis ini terwariskan sejak masa kerajaan hingga masa pemerintah
kolonial Belanda, yang menempatkan pegawai pemerintah sebagai warga
negara kelas utama. Menjadi pegawai pemerintah bukanlah pengabdian,
namun kebanggaan dan simbol kelas sosial. [wir]
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar