Kroni bisnis sudah biasa menjadi pemodal partai politik menjelang
pemilihan umum maupun pemilihan kepala daerah. Terutama, dalam
pembiayaan kampanye parpol. Peneliti Indonesia Corruption Watch Abdullah
Dahlan mengungkapkan, seorang pemodal yang menyumbangkan dana pemilu
biasanya tidak menyumbang secara gratis.
"Kontribusi pemodal dari
kalangan bisnis terhadap aktor politik bukan relasi gratisan. Jelas ada
timbal baliknya. Ada janji yang terbangun, proyek. Pemodal terkadang
memiliki peran dominan untuk mengendalikan aktor politiknya," ujar
Dahlan dalam diskusi "Membatasi Belanja Kampanye Pemilu" di Bakoel
Koffie, Jakarta, Minggu (18/3/2012).
Meski tak secara gamblang,
Dahlan mengungkapkan, untuk pilkada di sejumlah daerah, banyak
pengusaha di bidang tambang maupun perkebunan kelapa sawit yang
berbondong-bondong memberikan sumbangan. Dengan memberikan sumbangan
tersebut, mereka berharap, ke depannya akan mendapatkan perizinan
membuka lahan tambang yang lebih luas.
"Selain kemudahan
perizinan, mereka juga mendapat proteksi dari kekuasaan ketika usaha
mereka tidak diterima warga sekitar. Ini keuntungan-keuntungan yang
harus diwaspadai. Jangan sampai pemilihan hanya untuk kepentingan
penguasa dan pemilik modal," papar Dahlan.
Oleh karena itu, menurut dia, untuk mencegah hal-hal tersebut harus ada pembatasan dana kampanye dalam pemilu.
Sementara
itu, Nico Harjanto, peneliti dari Rajawali Foundation, mengungkapkan,
tidak mudah untuk menjaring penyumbang dari pebisnis yang memiliki
kepentingan khusus. Pasalnya, partai sendiri belum tentu dapat
memberikan laporan keuangan kampanye yang sesuai.
"Bisa jadi ada
anggota parpol yang menerima dana bantuan dari luar, tapi tidak
disampaikan ke internal parpolnya. Ini yang tidak bisa kita telusuri.
Hanya bisa terlihat, ini orang parpol tidak seberapa kekayaannya, tapi
kampanyenya terlihat dengan biaya besar," kata Nico.
Ke
depannya, kata dia, partai politik yang bersih harusnya mendaftarkan
seluruh pemasukan sumbangan dari luar sesuai dengan aturan yang berlaku.
Seperti yang disyaratkan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008
tentang Pemilu, yang mengatur bahwa sumbangan perseorangan kepada partai
politik peserta pemilu maksimal Rp 1 miliar, sedangkan sumbangan badan
usaha maksimal Rp 5 miliar.
"Jika melebihi batas dan jika
diberikan secara tersembunyi akan dimungkinkan seorang kandidat politik
memiliki utang-utang khusus terhadap pemodalnya. Ya berarti jadi ada
timbal baliknya," kata Nico.
Sumber:kompas.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar